Dear Scholarship, Give Me Chances :)

Friday, November 16, 2012

Ternyata orang itu nggak pernah lepas dari galau (read: pikiran). Sebut saja satu masalah terlewati pasti dia akan menghadapi kegalauan lain yang harus diselesaikan. Setelah menyelesaikan sidang, galau berikutnya seharusnya adalah revisian. Berhubung PS lagi pergi ke Gottingen (Deustchland), dan berhubung juga minggu ini adalah "very long weekend", konsentrasi revisian teralihkan buat membaca novel dan lain-lain.

Galau setelah lulus itu yang pasti mau kemana selanjutnya? Memulai karir atau lanjut sekolah S2? Kalau lanjut mau di dalam atau diluar? Kalau berkarir mau dibidang apa? Sawit-kah, pangankah, kantorankah, riset-kah? Nah lo, mulai garuk-garuk kepala kan? (dan dalam hati mulai mengiyakan., haha. peace)

First, Sholat istikhoroh dulu biar dapet kepastian, harus lanjut dulu atau langsung berkarir.

Second, kalau lanjut S2 harus jadi "Scholarship hunter" karena beaya kuliah S2 nggak murah dan sudah perjanjian kalau lanjut S2 nggak boleh minta dibiayain ortu lagi.

Third, Kalau langsung berkarir, harus mulai fokus pada bidang yang lebih terkonsentrasi. Tentukan listnya mulai dari sekarang.

Hshhh.., mau yang mana nii?

lanjut S2 dengan Scholarship, nggak gampang. IPK mutlak diatas 3, tapi lebih banyak kesempatan kalau 3.50 ke atas. TOEFL standar emang 450 buat Indonesia, tapi kalau mau keluar negeri minimal 500 (itupun baru Malaysia). 550 aman buat ke Korea, tapi lebih flexible kalau dapet 600 atau IELTS minimal 6. TOEFLnya harus yang internasional, sekali test bayarnya hampir 1,5 juta. Punya pasport itu wajib hukumnya (buatnya ngabisin 300rb klo g salah). Kalau mau jadi Scholarship hunter ya harus siap dg itu, belum lagi prepare buat ngirim dokumen ke Eropa itu nggak murah (yah, setengah juta kurang lebih). But, bismillah aja. Man jadda wajada to...

Berkarir. Ini yang lebih ngambang. Pertama kali dihindari adalah segala bentuk bekerja di bank (hindari riba sedini mungkin), tapi seseorang bilang kalau kita bekerja di bank maka gaji yang kita terima itu karena jasa kita, bukan riba. haaa, hindari yang meragukan itu. PTPN sejauh ini yang dicari selalu cowok (heyaaa, cewek nggak boleh berkarir ya?). Harus siap ditolak berulang kali dan harus siap wawancara berulang kali juga. Percaya diri punya nilai lebih disini.., ayoo berikan yang terbaik!

Jadi wartawan, g kepikiran sama sekali walaupun suka banget ama jurnalistik. Wartawan sekarang, entahlah, nggak mau salah memihak haya karena media tempat kita bekerja memihak salah satu tokoh berpengaruh dan membesar-besarkan berita yang seharusnya ditutupi atau malah sebaliknya. Jurnalistik kampus nggak ada apa-apanya disini. Kalau kerja di majalah pertanian, may be bisa dipikir ulang.

Apapun jadinya nanti, entah masih di Pertanian atau enggak, memang nggak masalah. Tapi seyogyanya kita tetap bisa membela pertanian walaupun udah nggak di pertanian lagi. Ingat dimana kita dibesarkan dan merasakan perjuangan petani. Jangan sia-siakan meski itu hanya sebutir nasi.

You Might Also Like

0 comments